Selasa, 25 Mei 2010

asal usul


pariwisata purbalingga

Purbalingga
- Wilayah sisi Timur Gunung Slamet tepatnya di Kabupaten Purbalingga ternyata menyimpan kekayaan peninggalan budaya megalitikum. Namun selama ini, warisan budaya asli nenek moyang Indonesia itu belum dikonservasi dengan baik dan optimal. Ketika identifikasi awal yang dilakukan pada tahun 1981 dan 1983 di Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari ditemukan sedikitnya 18 situs bersejarah. Identifikasi dilanjutkan pada 1984 dan 1986 di wilayah Tipar Ponjen dan ditemukan lebih dari 20 situs bersejarah.
Hal tersebut diungkapkan Prof Dr Harry Truman Simanjuntak dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional pada lokakarya ’Menggali Potensi Geologi dan Arkeologi Kabupaten Purbalingga untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat’ di Andrawina Convention Hall Obyek Wisata Air Bojongsari (Owabong), Purbalingga, Selasa (11/8). Lokakarya tersebut digelar oleh Forum Wartawan Purbalingga (FWP), bekerjasama dengan Pemkab Purbalingga, Fakultas Sains jurusan teknik Geologi Unsoed, Balai Arkeologi, dan Teknik Geologi ITB Bandung.
Dikatakan Truman, selain banyak ditemukan kebudayaan megalitikum setidaknya ada 22 situs bengkel batu prasejarah pada beberapa daerah aliran sungai di Purbalingga. Dari artefak yang ditemukan, seluruhnya adalah peninggalan kebudayaan masa neolitikum. Salah satunya yang cukup menarik adalah ditemukannya gelang batu.
Dilihat dari artefak yang ditemukan, kata Truman, teknologi yang digunakan manusia pada masa itu sudah cukup maju dan menerapkan teknologi pasti karena tak ditemukan bentuk artefak yang janggal. Bahkan ada beberapa artefak yang menunjukkan hasil adopsi budaya perunggu berupa prototype kapak perunggu. "Ini menunjukkan, manusia pada masa itu telah memasuki periode baru, proto sejarah," kata Truman.
Pada umumnya masyarakat pada masa proto sejarah itu, lanjut Truman, banyak mengembangkan ide keagamaan dengan mendirikan bangunan batu berukuran besar atau megalitik. Budaya megal itik inilah yang menjadi ciri khas asli nenek moyang Indonesia, sebelum menerima pengaruh Hindu, Islam, dan kolonial.
Meskipun cukup mudah menemukan artefak neolitikum maupun megalitikum di Purbalingga, namun sejauh ini belum ada arkeolog yang dapat menemukan fosil hewan maupun manusia. Truman memperkirakan kesulitan itu dikarenakan sifat tanah yang asam sehingga menghancurkan fosil hewan maupun manusia yang ada di daerah itu.
Oleh karenanya, Truman menyampaikan saran kepada Pemerintah Kabupaten Purbalingga, agar mengonservasi peninggalan megalitikum yang banyak ditemukan di Purbalingga. Langkah-langkah konservasi itu dapat dilakukan dengan penelitian lebih lanjut, hasil penelitian disosialisasikan kepada masyarakat.
Kemudian melindungi situ-situs yang telah teridentifikasi, dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan itu bisa untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, kepentingan akademik, maupun memperkuat jati diri masyarakat akan daerahnya. "Masyarakat bisa lebih mengenal asal usulnya sehingga dapat membangun peradaban lebih baik," kata Truman.
Terlambat
Bupati Purbalingga Drs H Triyono Budi Sasongko, M.Si mengakui pihaknya terlambat menangani potensi geologi dan arkeologi yang menjadi kekayaan benda cagar budaya. Namun, Bupati Triyono menyatakan, dengan sisa waktu masa kepemimpinannya yang tinggal 10 bulan akan mengembangkan potensi ini demi peningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama melalui pengembangan geo-wisata.
”Saya akui terlambat, hal ini karena keterbatasan pemahaman kami dalam hal geologi dan arkeologi. Namun, saya akan memanfaatkan potensi tersebut dengan tetap menjaga kelestariannya,” kata Bupati Triyono sembari menambahkan pada tahun ini pula pihaknya akan membangun sebuah museum artefak sebagai sarana wisata edukasi, keunikan sekaligus wahana hiburan.
Selain Prof Truman, lokakarya yang dimaksudkan untuk memberikan rekomendasi kebijakan kepada Pemkab Purbalingga dalam menggali dan mengembangkan potensi arkeologi tersebut juga menghadirkan sejumlah pakar geologi dan arkeologi dari ITB dan praktisi geologi. Mereka adalah Dr Bambang Sulistiyanto, MA (Arkenas), yang membawakan materi strategi pengelolaan warisan budaya, Ir Sudjatmiko Dipl, Eng Geo (praktisi geologi dari Kelompok Riset Cekungan Bandung/KRCB) dengan materi potensi batu mulia di DAS Klawing Purbalingga, Drs Gentur Waluyo, M.Si (Geologi Unsoed) dengan materi peran perguruan tinggi dalam dalam pengembangan intelektualisme berkaitan dengan potensi geologi.
Kemudian Ir Ina H Koswara, M.Sc dan Drs T Bachtiar keduanya dari Teknik geologi ITB yang masing-masing membawakan materi pengembangan pariwisata berbasis geologi dan arkeologi di Purbalingga, serta materi kerja lapangan bagi pelajar SMP SMA; langkah penting dalam sosialisasi sumberdaya bumi dan budaya. (yit-Humas)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar